JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian materi Pasal 1 angka (9), Pasal 6 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ). Permohonan ini diajukan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Jakarta Pusat Taufiqurrahman yang berkeinginan menjadi Wali Kota Jakarta Pusat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) tapi terhalang karena berlakunya pasal-pasal tersebut.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 75/PUU-XXII/2024 dalam persidangan yang dilaksanakan di MK pada Kamis (12/09/2024).
Dalam sidang pendahuluan dengan agenda untuk mendengarkan pokok-pokok permohonan serta memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan Pemohon yang telah dilaksanakan pada Selasa, 23 Juli 2024 pukul 13.30 WIB, Mahkamah telah memberikan nasihat kepada Pemohon. Salah satu nasihat dari Mahkamah yaitu agar Pemohon mencermati serta memperbaiki uraian petitum permohonan sesuai dengan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 dan kelaziman praktik beracara dalam perkara pengujian undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Petitum Tidak Jelas
Menurut Mahkamah, rumusan petitum yang disampaikan Pemohon dalam perbaikan permohonan menimbulkan ketidakjelasan atau kabur (obscuur) karena meskipun dalam uraian posita permohonan telah disampaikan alasan pertentangan norma yang dimohonkan pengujian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, akan tetapi Pemohon tidak menyebutkan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan atau permintaan Pemohon terhadap objek permohonan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya.
Dalam praktik beracara di pengadilan, kecermatan dan ketelitian dalam menyusun permohonan merupakan aspek krusial karena selain terkait dengan keterpenuhan syarat formil prosedural hukum acara, juga untuk memastikan rangkaian uraian fakta, hukum dan argumentasi serta tujuan dari permohonan dapat dipahami dengan jelas dan tepat. Pemohon pun tidak menggunakan kesempatan mengajukan renvoi pada petitum permohonan sampai dengan sebelum dilaksanakannya sidang untuk memeriksa perbaikan permohonan serta pengesahan alat bukti yang dilaksanakan pada 6 Agustus 2024.
“Berdasarkan hal tersebut, kekurangcermatan dan kekurangtelitian dalam penyusunan petitum permohonan a quo menyebabkan permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur),” ujar Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dalam sidang pengucapan putusan yang dihadiri sembilan hakim konstitusi pada Kamis (12/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Sebagai informasi, Pemohon bermaksud menggunakan haknya untuk dapat dipilih sebagai Wali Kota Jakarta Pusat, sesuai dengan domisili Pemohon dan kapasitas Pemohon sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Jakarta Pusat, dalam perhelatan pilkada serentak tahun 2024 sebagai pengejewantahan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Namun, Pemohon tidak dapat dipilih karena wali kota di Provinsi Daerah Khusus Jakarta tidak melalui pilkada, melainkan ditunjuk Gubernur Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Sebab, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 secara khusus pada ketentuan Pasal 13 ayat (3) menyebutkan: “Walikota/Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur)”.
Pemohon meminta wali kota/bupati sebagai kepala daerah otonom yang diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola pemerintahan secara mandiri. Selain provinsi, Pemohon juga memohon agar penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota di provinsi Daerah Khusus Jakarta bersifat daerah otonom dengan berasaskan desentralisasi. (Tim)
Baca berita lainnya di Google News Kanalindonesia.com