JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Novel Baswedan, dkk., yang menguji Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022. Para hakim konstitusi juga menolak provisi Novel, dkk., dalam Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 yang memohon untuk menghentikan sementara proses seleksi calon pimpinan (capim) KPK periode 2024 – 2029.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, Mahkamah menilai materi permohonan provisi terutama pada permintaan/permohonan para Pemohon agar Mahkamah memerintahkan Panitia Seleksi memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk melakukan pendaftaran dan mengikuti rangkaian proses seleksi capim KPK 2024 – 2029 adalah salah satu materi atau substansi yang telah menjadi substansi pokok permohonan.
“Mahkamah berpendapat permohonan putusan provisi para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karena itu haruslah dinyatak tidak beralasan menurut hukum,” ujar Arief dalam sidang pengucapan putusan yang dihadiri sembilan hakim konstitusi pada Kamis (12/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perkara ini diputus tanpa meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK karena Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya. Pada pokoknya, para Pemohon mempersoalkan batas usia paling rendah untuk menjadi pimpinan KPK yang ditentukan pasal a quo sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah 50 tahun.
MK Tegaskan Ketentuan Syarat Usia Pejabat Publik Tidak Boleh Sering Diubah
Arief menjelaskan, Mahkamah telah berpendirian aturan menentukan syarat usia paling rendah dan syarat usia paling tinggi menjadi wewenang pembentuk undang-undang, tetapi dalam keadaaan tertentu pembentuk undang-undang tidak boleh dengan mudah maupun terlalu sering mengubah syarat usia untuk menjadi pejabat publik yang dipilih maupun diangkat sebagaimana terdapat dalam beberapa norma undang-undang. Penegasan Mahkamah demikian diperlukan mengingat mengubah syarat usia paling rendah maupun syarat usia paling tinggi terlalu sering dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena mudahnya terjadi pergeseran parameter acuan kapabilitas atau kompetensi seseorang untuk menduduki jabatan dalam suatu lembaga organisasi publik.
“Jika hal tersebut sering diubah, besar kemungkinan pembentuk undang-undang akan merumuskan kebijakan ‘penyesuaian usia’ untuk menghalangi hak konstitusional warga negara lainnya dengan tujuan antara lain untuk ‘motif politik’ tertentu,” kata Arief.
Selain itu, Ketua MK Suhartoyo menjelaskan hal paling esensial yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah adanya persyaratan pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman, merupakan persyaratan yang secara substansial lebih bersifat esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata. Capim KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya, menurut Mahkamah memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK karena yang bersangkutan telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga, serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga. Apalagi persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga KPK mempunyai karakter khusus, yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang membutuhkan pengalaman.
“Karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Mahkamah pada putusan a quo, pengalarnan seseorang sebagai pimpinan KPK menjadi pembeda dan tidak dapat dipersamakan dengan pengalaman di bidang lainnya sekalipun pengalaman demikian adalah pengalaman bertugas atau bekerja di KPK, mengingat ada perbedaan yang bersifat fundamental dengan pengalaman pernah sebagai pimpinan KPK,” jelas Suhartoyo.
Dia melanjutkan, pengalaman menjabat sebagai pimpinan KPK berarti memiliki kesempatan secara komprehensif untuk menerapkan hal-hal yang bersifat konkret dalam menjalankan roda organisasi in casu KPK, baik pada bidang pencegahan maupun penindakan. Dengan demikian, sekali lagi, Pemohon dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 dinilai telah memenuhi syarat serta mempunyai kualifikasi sebagai pimpinan KPK yang secara faktual dibuktikan dengan posisinya saat itu telah terpilih dan sedang menjabat sebagai pimpinan KPK.
Jika dicermati pertimbangan hukum tersebut sekilas tidak berbeda dengan argumentasi yang didalilkan para Pemohon dalam Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 a quo, di mana para Pemohon menjelaskan terhalang untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK akibat adanya perubahan syarat usia paling rendah berupa kenaikan dari usia 45 tahun menjadi usia 50 tahun. Namun, jika dicermati secara saksama keduanya terdapat perbedaan yang bersifat mendasar. Perbedaan antara Perkara tersebut dengan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah bahwa para Pemohon dalam Perkara a quo saat ini belum pernah memiliki pengalaman menjadi pimpinan KPK, sementara pemohon dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 telah pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK.
Karena itu, baik secara yuridis maupun faktual keduanya tidak serta-merta dapat dipersamakan, hal tersebut dikarenakan adanya kelebihan-kelebihan tersendiri bagi yang pernah memiliki pengalaman menjadi pimpinan untuk dapat memenuhi kualifikasi yang kemudian menjadi alasan bagi Mahkamah untuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan syarat usia untuk menjabat pejabat publik in casu termasuk menjadi capim KPK. Berkenaan dengan penyederhanaan atau pengalternatifan a quo, Mahkamah melalui Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 29 November 2023 telah menyatakan pendiriannya bahwa berkenaan dengan penyepadanan atau pengalternatifan soal syarat usia menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Sekalipun putusan tersebut berkaitan dengan syarat untuk menjadi presiden dan/atau wakil presiden, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes, maka semangat dari prinsip tersebut tidak boleh dibedakan dengan putusan-putusan MK lainnya.
“Penentuan batasan usia paling rendah ataupun batasan usia paling tinggi dalam suatu undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. yang hanya dapat dinilai atau diadili oleh Mahkamah apabila penentuan usia demikian melanggar berbagai batasan kebijakan hukum terbuka,” tutur Suhartoyo.
Dissenting Opinion Arsul Sani
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap permohonan ini. Pendapat berbeda ini dibacakan Suhartoyo yang pada intinya Arsul Sani berpendapat seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan ini meskipun untuk sebagian. Menurut Arsul, seharusnya Mahkamah menafsirkan norma Pasal 29 huruf e menjadi, “e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK atau berpengalaman sebagai Pegawai KPK yang bekerja di bidang pencegahan atau penindakan (penegakan hukum) tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun secara berturut-turut atau paling tinggi berusia 65 (enam puluh lima) tahun”.
Sebagai informasi, para Pemohon perkara ini terdiri dari Novel Baswedan (ASN Polri), Mochamad Praswad Nugraha (ASN Polri), Harun Al Rasyid (PNS), Budi Agung Nugroho (karyawan swasta), Andre Dedy Nainggolan (PNS), Herbert Nababan (PNS), Andi Abd Rachman Rachim (PNS), Rizka Anungnata (Polri), Juliandi Tigor Simanjuntak (PNS), March Falentino (karyawan swasta), Farid Andhika (karyawan swasta), serta Waldy Gagantika (karyawan swasta). Para Pemohon pernah menjadi pegawai KPK yang mengalami kerugian konstitusionalitas karena dinyatakan tidak dapat mengikuti seleksi pemilihan pimpinan KPK periode tahun 2024 sampai dengan 2028 berdasarkan penafsiran ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK.
Pasal 29 huruf e UU KPK sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 berbunyi: “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.” Namun dalam petitumnya, para Pemohon meminta pasal a quo perlu dimaknai kembali oleh MK dengan bunyi, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau paling rendah 40 (empat puluh) tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantan Korupsi, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun.”(Tim)
Baca berita lainnya di Google News Kanalindonesia.com